PWM Sumatera Utara - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Sumatera Utara
.: Home > Berita > Gerakan Melintasi Abad: 104 Tahun Muhammadiyah

Homepage

Gerakan Melintasi Abad: 104 Tahun Muhammadiyah

Selasa, 19-11-2013
Dibaca: 2412

Oleh : Shohibul Anshor Siregar 

Di bumi tempat sebuah kerajaan yang tak faham Islam (Jogjakarta) dan dengan segenap kultur yang diklaim bertentangan dengan Islam (bid’ah dan khurafat), Muhammadiyah (M) berdiri 104 tahun lalu. Asam garam kehidupan berubah-ubah, M tekun belajar pada situasi, dan berjalan melintasi zaman. M berdialog dengan zamannya. Dengan kolonial Belanda saat embriyonal gerakan, hingga pengakuan kedaulatan di mata dunia. Tak sedikit pula luka yang tertoreh saat pendudukan Jepang. 

Setelah Indonesia merdeka, M juga tak merasakan lebih mudah. Soekarno yang tak berhasil “diislamkan” terlalu tangguh terutama dengan karakter otoritarianisme yang (antara lain) terlihat pada pembubaran Konstituante untuk menggengam dengan resep demokrasi terpimpin.

Begitu pun pada masa Soeharto. Pembangunan yang mengutamakan stabilitas mungkin benar telah memperoleh sedikit pertumbuhan berdasarkan kinerja ersatz capitalism (Kunio, 1986) dan hingga akhir pemerintahannya pemerataan tidak terjadi. Instrumen politik seperti asas tunggal, kebijakan nativisasi dengan pemosisian Aliran Kepercayaan, penyederhanaan partai (fusi), program KB, dan UU Pokok Perkawinan, adalah sedikit contoh yang menandai rumitnya dialog dengan pemerintahan Soeharto.

Jika melihat ketak-serasian M dengan “Negara”, organisasi yang berdiri di Kauman (salah satu pusat budaya Jawa terkuat dan paling lestari), ini terbukti selalu kurang berhasil “mengislamkan” (cara berpikir) para pemimpin Jawa yang silih-berganti berkuasa (agar lebih bersahabat dengan Islam) hingga kini.

Karakteristik Gerakan.

Kunci proses dari banyak gerakan sosial ialah urbanisasi yang membentuk pemukiman lebih luas yang di dalamnya penduduk dengan berbagai tujuan hidup yang identik, menyatukan keinginan dan mengorganisasikan pencapaiannya. Kemudian saling memberi manfaat atas proses industrialisasi yang berimbas pada pembentukan aliansi pekerja dan perjuangan kesejahteraan. Sejumlah gerakan sosial diciptakan di perguruan tinggi, sedangkan yang lain adalah sebagai proses pendidikan sosial masyarakat. Pertumbuhan teknologi komunikasi sangat menunjang gerakan sosial. Bukan cuma surat kabar dan social media, tetapi public spherelainnya juga berkembang membentuk opini publik. Tentu semua itu terkait demokrasi, pemenuhan hak-hak politik yang mendorong kemudahan gerakan sosial.

Sosiolog lazim membedakan gerakan sosial berdasarkan ruang-lingkup, tipe, target, metode, waktu, dan skala jaringan. Dimanakah tempat M dalam peta kajian Sosiologi? Gerakan ini memadukan dua lingkup antara fundamentalis dan advokatif, dan itu disesuaikan dengan keadaan. Tipe tawaran selalu progress, dengan resiko dimusuhi “di rumahnya” sendiri. Target gerakan selalu berpusat kemaslahatan umum dengan sedikit penyimpangan yang mengganggu pasca orde baru dan reformasi, terutama ketika sudah berbicara modal dan amal usaha. Saat meneriaki KKN, boleh jadi sebetulnya M sedang mengeluhkan penyakit internal yang tak dapat disembuhkannya.

Sebagai bagian dari politik Islam Orde Baru, banyaklah anak muda M dijerumuskan ke gerakan makar. Tetapi itu bukan penanda bagi M. Ia softseperti mengikuti arus air, memadukan apa yang oleh Clifford Geertz disebut Islam Politik dan Islam Kultural. Meski tak seutuhnya, M ada di Singapura, dan seni beladirinya (Tapak Suci) sudah lama “diekspor” termasuk ke Eropa karena peran penting para pembina seperti Subagio HS (mantan KSAD), satu di antara sejumlah petinggi militer pengikut jejak kedekatan (dengan M) panglimanya Jenderal Soedirman. Ini menandai skala yang tak berorientasi lokalistik semata. Bahkan saat Lukman Harun berperan seperti duta besar M, protes masalah lingkungan yang menjadi agenda duniapun tak luput dari perhatian. Ia pernah ikut unjuk rasa di Stokholm. Tanfiz Muktamar terakhir juga tegas memberi kepedulian global, dan itu tak terbatas pada masalah Palestina dan sekitar Timur Tengah. Baik tipe gerakan sosial lama maupun baru, akan ditemukan dalam M. Stolen Asset Recovery yang menjadi salah satu pemikiran dunia atas ketidak-amanahan para pemimpin yang berakibat pemiskinan struktural, disuarakan dengan menggandeng NU (kolaborasi Ma’arif-Muzadi). Rentetan teriakan Dien Syamsuddin tentang kepemimpinan, harus ditandai bukan sebagai kehendak pribadinya an sich, meski tak banyak yang gugup menentukan apakah ia sedang menerjemahkan ajaran yang diyakini M dalam bernegara dan memimpin, atau sedang menjalankan agenda lain.

Ancaman Stagnasi.

Gerakan sosial seolah tidak pernah eternal. Ia berpasang-surut, ada life cycle (pembentukan, pertumbuhan, sukses atau gagal, dan berkelanjutan), dan ini selalu terkait dimensi ruang dan waktu. Pada masa dan tempat tertentu gerakan sosial begitu cepat berkembang atas dukungan faktor-faktor lokal dan paradigma pemikiran ramah pada masanya. Sebuah gerakan sosial dapat sangat spesifik menurut ruang dan waktu dan seolah tak dapat diulang pada masa dan tempat lain.

Gerakan sosial akan selalu memiliki nuansa polarisasi. Gerakan sosial juga memerlukan an initiating event (Neil Smelser, 1962), yakni: a particular individual event that will; begin a chain reaction of; events in the given society leading to; the creation of a sosial movement.

Gerakan MALARI 74 misalnya, yang oleh Hariman Siregar sendiri dianggap di luar apa yang mereka bayangkan sebelumnya, dapat terjadi dengan eskalasi situasi perang dingin yang membelah dunia menjadi kiri atau kanan dan perebutan sistem sumber (kapitalisme) di Negara-negara dunia ketiga. Setelah itu kelihatannya Amerika, pasca kegagalan intervensi dalam PRRI Permesta, mendapatkan hak-hak khusus di Indonesia melebihi Negara lain, khususnya Jepang yang saat itu menjadi “sasaran tembak” Malari 1974.

Hari ini begitu banyak data tersedia tentang betapa kuatnya dominasi Asing dalam proses kenegaraan, tetapi tak memunculkan gerakan seperti sebelumnya (Malari 1974 dan tahun 1998 yang gagal mengagendakan pembebasan Indonesia dalam konteks kedaulatan politik, ekonomi dan sosial budaya).

Ryan (1990) mengidentifikasi 4 tahapan gerakan sosial: Incipient Stage (situasi gerakan sosial tumbuh berdasar atau karena tekanan struktur/sosial yang tak memuaskan); Popular Stage (berkembangnya peluang/kondisi sejumlah orang saling mengenal dan berbagi perasaan ketak-puasan); Organizational Stage, (klarifikasi tujuan dan mobilisasi aksi); Institutional Stage (mengintegrasikan gerakan ke dalam struktur sosial masyarakat).

Kelihatannya dalam batas tertentu M membukukan sukses pada semua tahapan dan agenda itu.

Dengan tetap memandang pemurnian Islam yang mesti terbentur denganbid’ah dan khurafat, dan selain nativisasi dan kehadiran sekte-sekte Islam yang mendunia, potensi ancaman stagnasi lain saat ini tentu bersumber dari arus pemikiran global yang sukar dibendung (liberalisme, pragmatisme dan sekularisme). Melihat kembali sejarah, tidak ada keraguan bahwa gerakan sosial telah memainkan peran besar dalam membentuk sebuah negara dan budayanya yang terus-menerus diperbaiki. Protes tentang kesenjangan telah melahirkan teori dan pendekatan baru pembangunan untuk lebih pro-poor. Begitu juga isyu lingkungan dalam mengelola sumberdaya alam dalam totalitas langkah pembangunan (pro-green). Perubahan ini menggaris-bawahi fakta bahwa, untuk sebagian besar, dalam masyarakat demokratis, kelompok yang berbeda memiliki kekuatan untuk memengaruhi lembaga-lembaga dan budaya negara mereka dengan cara yang berbeda, asalkan mereka terorganisasi untuk melakukannya dan memahami sistem (hukum, politik, budaya, dan ekonomi) lokal.

Jangankan gerakan sosial, bahkan bentuk-bentuk perilaku deviatif sekalipun (seperti geng motor, korupsi dan konsumerisme narkoba) dapat memberi pengaruh signifikan atas perubahan hidup bermasyarakat dan bernegara. Itu bukan hanya terjadi pada penyesuaian perilaku pemerintahan, namun pada persepsi akademis dan rekomendasi-rekomendasi mereka untuk para pembijaksana. Katakanlah perilaku kekuasaan dalam demokrasi Indonesia yang memberi dampak kedinastian. Hal itu telah menjadi pembahasan serius dengan tujuan mencari cara terbaik untuk dihindari. Wacana ke arah perubahan diikuti diskursus evaluaitf yang serius tak bersambut. Rezim bimbang, karena takut menegakkan hukum secara konsisten.

Penyimpangan lain sebagai hasil sampingan demokratisasi ialah perubahan lokasi dan bentuk serta proses ketidak-merataan pembangunan akibat kartel-kartel politik di pusat maupun di daerah berdasarkan gagasan-gagasan sempit kekerabatan dan kepartaian. Indonesia tergolong Negara paling berpantang distribusi. Ketidak-adilan semakin parah, mengulang salah satu ciri penting rezim Orde Baru. Di mata pemerintah dan elit partai yang buta hati, kini anggaran pemerintah dianggap lebih baik didistribusi kepada LSM yang baru diberi status oleh kesbanglinmaspol ketimbang organisasi berjasa besar seperti M, NU, Alwashliyah. Ini sebuah ketidak-adilan bahkan kezaliman, dan ketika semua organisasi itu bertekad mengirim orangnya ke pentas politik dan birokrasi agar pada gilirannya nanti dapat pula “merampok” uang Negara untuk memperbaiki gedung sekolah yang rusak dan memberi makan anak yatim di panti-panti asuhan, sebuah ancaman pembubaran diri sudah tiba kepada mereka.

Mestinya MUI sebagai lembaga semi pemerintah harus berteriak keras ke kuping pemerintah, bukan justru berpura-pura lebih besar dari NU, M, Al-washliyah dan semua organisasi berjasa besar lainnya.

Penutup.

Selamat Milad 104. Tugasmu makin berat melintasi abad kedua. Karena itu tasyakkurmu jangan hedonis. Hentikan para kurcaci hipokrit yang sangat miskin gagasan dan rawan ideologi menghabisi asetmu. Kenanglah Dahlan sang pendiri, renungkan penderitaan Hr Mohammad Said, Hamka dan Bustami Ibrahim. Ingatlah ND Pane dan TA Lathief Rousydiy tertimpa beban berat di era tertutup. Apresiasilah keteguhan para kader seperti Abdul Mun’im Tandjung, Ruhum Harahap, Angku Ama Sahil (Nias), Taslim Meuraxa (Tapteng) atau generasi baru seperti Erwin Tanjung (Karo), Adnan Syahmadan Panggabean (Taput) dan sejumlah nama yang tak terhitung di wilayah dakwah yang sulit. Kau juga harus menjenguk Kalimin Sunar yang kini terbaring dalam sepuh, paling tidak untuk menimba keteguhan syahadahnya yang selalu kokoh itu. Kebanggaanmu karena pernah memiliki seseorang seperti Amin Rais pada zaman ini tak boleh menutup pengakuan atas kegagalan membina Akil Mochtar dan banyak orang silaosi poda (deviant) lainnya. Akhirnya, jangan kau sesali mengapa Bung Karno ingin dikubur dengan kain kafan cap M, dan mengapa Soeharto memerlukan pengakuan formal sebagai anak didik M, persis di penghujung kekuasaannya. Apakah mereka tak setulus Jenderal soedirman? Itu tak perlu lagi dipikirkan. Tetapi semestinya M membimbing setiap orang berdiri tegar melawan para Namruz dan Fir’aun generasi baru. Innallaha laa yughayyiru maa biqaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim (merubah dunia tak mungkin kau lakukan tanpa merubah diri sendiri terlebih dahulu). |mpi-su|


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website