PWM Sumatera Utara - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Sumatera Utara
.: Home > Berita > Artikel Sambut Milad ke-103 Muhammadiyah : JIHAD DAN TEOLOGI AL-MA’UN

Homepage

Artikel Sambut Milad ke-103 Muhammadiyah : JIHAD DAN TEOLOGI AL-MA’UN

Selasa, 06-11-2012
Dibaca: 3241

Oleh : Shohibul Anshor Siregar

 

Menyadari potensi Indonesia yang agraris, sambil menyesali kebijakan Negara yang tidak proporsional, Muhammadiyah 

berusaha mgembangkan model-model pertanian, peternakan, dan perikanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir menuju pemberdayaan kelompok petani, nelayan, dan peternak yang kuat dan mandiri. Meskipun ini begitu sulit dengan benturan atas sistem, namun tanpa perasaan lelah Muhammadiyah tetap berusaha meningkatkan advokasi dan pendampingan terhadap kelompok miskin, buruh, dan kelompok dhu’afa/mustadh’afin lainnya untuk memiliki akses, usaha, dan kekuatan kemandirian

 

Berdasarkan hitungan hijriyah, Muhammadiyah kini berusia 103 tahun. Tetapi jika berpedoman kepada kalender Miladiyah, Muhammadiyah yang berdiri Nopember 1912 kini genap satu abad. Sedikit berbeda dengan amatan luaran, Muhammadiyah yang kini memiliki banyak sekali “partner” dalam penanggulangan masalah-masalah sosial kemasyarakatan (baik pathologis maupun non pathologis), termasuk hal-hal yang secara umum diungkapkan dengan istilah “pemberdayaan”, memiliki penajaman khu

sus dengan pelembagaan gerakan. Massifikasi gerakan memang tak selalu gembar-gembor dan pasti tak “bertangan di bawah” kepada pemerintah (Nasional maupun daerah), apalagi ke “induk semang” luar.

 

Jika merujuk pada Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 Tahun 2010, hal-hal yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat (Community Development & Community Organization) cukup mendapat penegasan. Visi yang ditetapkan berbunyi “meningkatnya kapasitas, daya saing, posisi tawar, dan intensitas pemberdayaan masyarakat berbasis misi Penolong Kesengsaraan ‘Oemoem’ (PKO) dan gerakan Al-Ma’un menuju kehidupan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berkeadaban”. Itulah salah satu urusan lama yang diberi penegasan baru oleh Muhammadiyah semenjak Muktamar 2005. Gerangan apa yang menjadi keluh-kesah di balik kemunculan baru urusan usang itu?

 

PKO adalah sebentuk kelembagaan awal dalam Muhammadiyah yang konon dikembangkan sebagai respon terhadap berbagai 

masalah sosial akibat bencana maupun berbagai kesulitan yang menyebabkan banyak kesengsaraan di tengah masyarakat. Sebagaimana lazimnya, masalah sosial di Negara-negera terbelakang selain bersifat massif juga lebih berkonotasi struktural. Saat bertemu orang miskin di sana, fahamilah bahwa pada umumnya itu bukanlah disebabkan oleh malasnya si miskin itu bekerja melainkan karena akses yang tertutup baginya oleh tekanan struktural. Jadi, kemiskinan struktural itu memang bukan hal baru.

 

Sedangkan ideologi Al-Ma’un adalah penerjemahan komunitas awal Muhammadiyah terhadap kajian “bertele-tele” tentang surah Al-Ma’un yang diasuh langsung oleh pendiri organisasi ini, KH Ahmad Dahlan. Disebutkan sebagai kajian “bertele-tele” ialah karena KH Ahmad Dahlan sebagai guru jama’ah waktu itu tidak mau beranjak dari kajian surah pendek dalam Al-Qur’an ini untuk jangka waktu yang cukup lama. Akhirnya ketika jama’ah bertanya, KH Ahmad Dahlan pun menjelaskan bahwa surah ini menuntut pengejawantahan teknis di lapangan. Pembumiannya harus diwujudkan segera yang jika tidak menjadi tak mungkin untuk beranjak ke kajian lain. Berdirinya Panti-panti Asuhan Muhammadiyah dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial lainnya berlatar-belakang historis kejadian ini.

 

Jihad. Antonio Gramsci (Itali, 1891-1937) menunjuk ketidak-adilan karena hegemoni yang meluas dan tak terobati. Edward Said 

(Palestina, 1935-2003) begitu lantang menentang penindasan. Mungkin term subaltern (everything that has limited or no access to the cultural imperialism is subaltern) yang dikembangkan oleh Spivak (India, 1942-) telah pula menginspirasi tak hanya debat-debat serius di berbagai perguruan tinggi di Barat tentang keharusan penghentian penyepelean terhadap belahan dunia terbelakang karena dan dengan penerapan standar subjektif Barat itu. Kira-kira, raungan apalagi yang lebih menyayat dari “Tirai Kemiskinan” yang ditorehkan oleh Mahbub ul-Haq (Pakistan, 1934-1998) atau model-model pemberdayaan ala Muhammad Yunus (Bangladesh, 1940-)? Gaung itu tak berhenti di sebuah Negara. Sritua Arif (Indonesia, 1938-2002) cukup vokal untuk perjuangan yang sama menentang ketidak-adilan, tak terkecuali dalam ekonomi.

 

Semua itu hanyalah kontinuitas belaka dari abadinya keberadaan perasaan keadilan di permukaan bumi yang belum pernah berhasil diperjuangkan. Dalam babakan sejarah sebelumnya teriakan dan perlawanan membebaskan diri dari belenggu penjajahan telah menjadi label tuntutan bersama yang memicu solidaritas yang luas dan di belahan terluas permukaan bumi. Dalam potret ini, dunia Islam yang “gelap dan gulita” telah menjadi tangisan perjuangan pada zamannya dengan tak sedikit 

rintangan dan hambatan.

 

Apa yang kini didapatkan dunia Islam kurang lebih adalah warisan penderitaan tak cuma dalam image dan pelabelan tak adil dalam sebuah dominasi yang merontokkan sendi kemanusiaan. Dunia Islam tak dapat bicara kini tentang puncak-puncak kemajuan. Jika ia ingin mewujudkan masyarakat industrial, rujukannya malah tak ditemukan pada sejarah masa silamnya. Ini sesuatu yang begitu sulit, karena ia hanya seakan pantas mengemis advis kepada seluruh kekuatan yang secara faktual kurang lebih menjadi musuh-musuhnya. Itu tak berbeda, apakah menjadi sebuah Negara yang masih dalam jajahan atau sudah merdeka secara formal. Jerat temali imperialisme malah bermetamorfosis lebih canggih, seakan tak memperdulikan harkat dan martabat apalagi do’a-do’a suci dari mereka yang tertindas.

 

Kira-kira kerangka pikir dan nada seperti itulah yang sejak 2005 disuarakan lantang dalam Muhammadiyah dengan memulai

 pentorehan keputusan dalam Muktamar yang kemudian berbuah pembentukan sebuah lembaga baru yang dikenal dengan Majlis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Program unggulan diperlukan sesuai pemahaman terhadap spektrum masalah dan kaji diri atas potensi yang ada serta akses untuk itu. Ada jihad yang harus digelorakan dalam 5 bidang penting, yakni jihad menegakkan Kedaulatan Pangan, memberdayakan Sektor Informal, memberdayakan Kaum Buruh, advokasi Kebijakan Publik, dan memberdayakan Kaum Difabel. Fokusnya sederhana namun sungguh berat.

 

Aplikasi konsep-konsep gerakan teologis/fiqih Al-Ma’un dan model pemberdayaan yang terpadu dengan sistem gerakan Muhammadiyah dicoba dijabarkan mengikuti kompleksitas dan besaran masalah. Mengembangkan model-model pemberdayaan masyarakat bersifat bottom-up dan partisipatif untuk komunitas buruh, tani, nelayan, dan kaum marjinal di perkotaan maupun pedesaan, dianggap menjadi concern bersama. Bersamaan dengan itu potensi sumberdaya manusia untuk pemberdayaan disertai peningkatan kualitas pengelola, optimalisasi multimedia dan teknologi informasi, serta mobilisasi 

sumber dana, digerakkan di seluruh tanah air. Tak kurang pentingnya meningkaitkan kapasitas pengorganisasian dan pengembangan program pemberdayaan dengan memanfaatkan berbagai daya-dukung Muhammadiyah. Karena itu jaringan dan hubungan serta kerjasama, baik di lingkungan internal maupun lembaga-lembaga lain yang memiliki kepedulian pada pengembangan civil society sejalan dengan prinsip gerakan Muhammadiyah, dijajaki dan diwujudkan.

 

Menyadari potensi Indonesia yang agraris, sambil menyesali kebijakan Negara yang tidak proporsional, Muhammadiyah berusaha mgembangkan model-model pertanian, peternakan, dan perikanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir menuju pemberdayaan kelompok petani, nelayan, dan peternak yang kuat dan mandiri. Meskipun ini begitu sulit dengan benturan atas sistem, namun tanpa perasaan lelah Muhammadiyah tetap berusaha meningkatkan advokasi dan pendampingan terhadap kelompok miskin, buruh, dan kelompok dhu’afa/mustadh’afin lainnya untuk memiliki akses, usaha, dan kekuatan kemandirian. Jika semua itu diyakini amat terkait pada kebijakan, maka advokasi kebijakan publik sangat diperlukan agar yang tidak sensitif dan tidak memihak kepada kaum miskin, dhu’afa, dan mustadh’afin, dihentikan segera. Kebijakan yang tidak pro poor, malah dipandang sebagai pendustaan terhadap agama. Ya, pendusta agama.

Shohibul Anshor Siregar.

Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian Waspada, Medan, Senin 5 Nopember 2012,


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website