PWM Sumatera Utara - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Sumatera Utara
.: Home > Naskah Pengajian

Homepage

Kepemimpinan Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam


Oleh : Prof.Dr.H.Asmuni,MA
(Guru Besar IAIN,UMSU, Ketua PWM,dan Agt Dewan Pendidikan Sumut)
Rumah tangga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Lazimnya, terdiri dari laki-laki,isteri dan anak-anak. Itulah komposisi yang biasa terjadi dan merupakan harapan semua orang yang melaksanakan pernikahan. Namun demikian, tidak jarang harapan itu tidak terpenuhi. Akibatnya, ada pasangan laki-laki isteri yang mengambil jalan singkat melalui perceraian. Ada yang mencari solusi dengan cara mengangkat anak, sehingga keutuhan rumah tangga dapat dipertahankan. Ada juga pasangan laki-laki isteri yang tidak mau mengangkat anak. Kehidupan rumah tangganya tetap bertahan, dan tidak berakhir dengan perpisahan.  Ada pula isteri yang dengan suka rela menyuruh laki-lakinya nikah dengan isteri lain agar dapat memperoleh keturunan. Bahkan, ada isteri yang berusaha mencarikan calon isteri muda laki-lakinya. Kasus seperti ini, agak jarang terjadi tetapi dalam kenyataan memang ada. Jika diadakan penelitian, mungkin hasilnya para laki-laki  sangat setuju dengan sikap isteri yang mendukung poligami. Namun demikian, tidak juga ada jaminan terwujudnya slogan mengatasi masalah tanpa masalah seperti  pernayataan orang Pegadaian. Justru kebanyakan terjadi ingin mengatasi masalah, yang timbul masalah lain.
Terlepas dari persoalan ini, yang jelas dalam rumah tangga harus ada seorang pemimpin. Menurut Islam, pemimpin dalam rumah tangga adalah laki-laki bukan isteri. Ketentuan ini dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum isteri, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (isteri), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka isteri yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika laki-lakinya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Isteri-isteri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Depag RI;1971:123).
Kepemimpinan dalam suatu komunitas adalah sunnatullah. Artinya, pemimpin itu mesti ada dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari masyarakat primitif sampai pada masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif sudah berlaku kepemimpinan. Setiap mengadakan upacara adat yang menjadi pemimpin adalah kaum pria. Gotong royong untuk membangun rumah misalnya, yang menjadi penggerak adalah laki-laki. Sewaktu mengadakan upacara pernikahan, mulai dari meminang sampai pada upacara akad nikah, tetap dipimpin oleh laki-laki. Tradisi masyarakat primitif itu, tampaknya masih berlaku pada masyarakat modern dan berlaku pada era globalisasi dewasa ini. Dalam suatu hadis, Rasulullah berpesan jika bepergian ada tiga orang, salah satunya harus jadi pemimpin.
Rumah tangga, merupakan satu lebaga kecil yang dalam satu komunitas. Namun demikian, Allah telah menggariskan bahwa di dalamnya harus ada seorang pemimpin. Orang yang mendapat mandat jadi pemimpin dalam rumah tangga adalah laki-laki seperti dinyatakan dalam ayat di atas. Ini, merupakan prinsip dasar kepemimpinan dalam rumah tangga menurut Islam. Sebenarnya, sudah berlaku cukup lama di kalangan masyarakat yang menjadi pimpinan itu adalah laki-laki. Kalaupun dalam kenyataan ada terjadi penyimpangan, itu wajar. Artinya, dalam satu rumah tangga, ada yang dikendalikan oleh isteri dan laki-laki nurut pada perintah isteri. Akan tetapi, kalau ada urusan yang sifatnya menuntut tanggung jawab, biasanya laki-laki tetap harus tampil ke depan dan isteri menyetujuinya. Misalnya, dipanggil oleh Kepala Desa terkait dengan pembayaran pajak. Menghadiri rapat di balai desa dalam rangka persiapan pemilu. Undangan untuk gotong royong membangun jalan yang telah rusak. Mendamaikan anggota masyarakat yang saling bermusuhan, dan sebagainya.
Laki-laki diamanahi Allah untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga, didasarkan pada beberapa kelebihan. Antara lain, laki-laki mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan kaum isteri. Pertama, laki-laki mempunyai bentuk tubuh yang lebih kuat daripada isteri. Bentuk badannya kekar, ototnya kuat dan mampu bekerja berat. Sanggup memikul berbagai beban berat seperti buruh di pelabuhan. Mampu bekerja keras menggali barang tambang sekalipun tantangannya adalah kematian. Mampu membangun gedung yang besar dan tinggi penuh dengan resiko. Lain halnya dengan kondisi fisik kaum isteri. Kulitnya halus, tubuhnya lembut, perasaannya mendominasi pikirannya. Secara kodrati, isteri menghadapi siklus haid, mengandung, melahirkan, nifas, menyusukan anak dan mengasuhnya. Pada malam hari harus sering terbangun karena menyusukan anak dan merawatya.
Malam hari kurang tidur, siang hari harus menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, apalagi kalau ia sebagai isteri karir. Kesemuanya itu, dapat mengurangi kesehatan dan kekuatan fisiknya. Sangat wajarlah kalau Allah menentukan laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Hal ini, didasarkan atas kelebihannya  atas isteri, terutama ketahanan fisiknya. Ini, merupakan suatu keadilan dan kebijaksanakan Allah. Sebagai umat Islam, tentunya kita tidak akan protes terhadap ketentuan ini. Dalam hal ada penyimpangan dari yang umum terjadi, tentunya dapat diambil jalan lain. Artinya, kalau laki-laki tidak mampu menjalankan tugas kepemimpinan dalam rumah tangga sesuai dengan ketentuan, maka isteri boleh mengambil alih. Pertimbangannya, harus didasarkan untuk menghindari kemuderatan atau kerusakan. Berdasarkan pada  kaedah hukum Islam hal ini dibolehkan. Kaedah yang dijadikan landasan adalah “ dar-ul mafaasid muqaddamu ala jalbil masaalih”. Artinya, menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Kedua, di antara kelebihan laki-laki diangkat menjadi pemimpin dalam rumah tangga, adalah karena kemampuan berfikirnya. Dari hasil penelitian para psikolog, dinyatakan bahwa tingkat emosional isteri adalah 80 % dan kemampuan berfikir rasionalnya 20 %. Kaum laki-laki mempunyai kemampuan berfikir 80 % dan tingkat emosionalnya 20 %. Dengan demikian,  kemampuan laki-laki dan isteri berbading terbalik. Kesimpulan ini berlaku secara umum. Kalau ada kemampuan laki-laki untuk berfikir hanya 20 %, lalu tingkat emosionalnya 80%, itu adalah penyimpangan dari ketentuan umum. Dalam hukum Islam, sesuatu yang jarang terjadi, dianggap tidak ada atau yang jarang terjadi tidak bisa jadi dasar penetapan hukum (an-Nadir kal ma’dum atau an-Nadir laa hukma lahu). Artinya, secara umum tetap berlaku bahwa kemampuan berfikir laki-laki lebih baik dibanding dengan isteri. Dengan kondisi seperti ini, layak kalau laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Diharapkan, dia mampu menghadapi segala tantangan dan problematika yang menerpa rumah tangga, baik karena fatkor internal maupun eksternal.
Ketiga, laki-laki diangkat menjadi pemimpin dalam rumah tangga, karena dia mempunyai kesempurnaan dalam agama. Artinya, laki-laki dapat menjalankan kewajiban agama secara penuh, karena tidak haid, nifas dan sejenisnya seperti kaum isteri. Alasan ini, sebenarnya bisa menimbulkan protes bagi kaum isteri. Mereka dapat mengatakan, semua itu adalah kudrat Allah, kenapa harus diponis dengan isteri kurang agamanya. Itulah suatu realita yang harus diterima. Harus disadari, bahwa tidak ada manusia sebelum lahir ke duia ini, meminta kepada Allah untuk menjadi laki-laki atau isteri. Paling ada permintaan dari kedua orang tua. Akan tetapi, begitu lahir dari rahim sang ibu jenisnya laki-laki, harus patuh pada ketentuan hukum yang berlaku bagi kaum laki-laki. Kalau jenis bayi yang lahir isteri, pasti berlakulah hukum untuk kaum isteri. Seandainya salah seorang dari kedua orang tuanya meninggal, anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian isteri. Sebaliknya, anak isteri bagian warisannya tetap setengah jika satu orang dan jika dua orang atau lebih bagiannya dua pertiga. Seandainya bayi yang baru lahir itu laki-laki, lalu meninggal, maka pengurusan janazahnya tidak boleh disamakan dengan pengurusan jenazah anak laki-laki. Anak perempuan kalau mau nikah wajib ada wali, baik orang tua, kakek, keluarga dekat lainnya. Jika tidak ada wali nasab, beralih hak kewaliannya kepada wali Hakim. Anak laki-laki yang mau nikah tidak perlu ada wali. Kalau hal ini dianggap diskrinatif, itulah ketentuan hukum Islam. Kesimpulannya, berdasarkan kelebihan dalam aspek agama, maka kepemimpinan dalam rumah tangga diamanahkan oleh Allah kepada laki-laki, bukan kepada isteri.

Keempat, laki-laki diangkat menjadi pemimpin dalam rumah tangga karena kelebihan dalam hal tanggung jawab memberi nafkah. Laki-laki wajib memberi nafkah kepada isteri. Dia harus bekerja keras dan cerdas, agar memperoleh uang untuk diberikan kepada isteri. Berbagai tantangan dan rintangan, harus dihadapi demi mendapatkan uang. Hujan dan panas yang menyengit tidak boleh membuatnya malas dan tetap harus bekerja keras. Sementara isteri di rumah menjaga dan mendidik anak-anaknya, agar kelak menjadi putra putri yang salih. Dia menjadi harapan masa depan. Kecerdasan intelektualnya harus dididik sedemikian rupa, agar berkembang dengan baik. Sementara, kecerdasan emosional dan spiritualnya merupakan sesuatu yang sangat penting. Ketiga-tiga kecerdasan tersebut, haruslah berjalan dengan seimbang, agar kelak ana-anak menjadi sosok manusia yang paripurna. Begitulah pembagian tugas antara laki-laki dan wanita atau suami-isteri, agar dapat terwujud keluarga sakinah, mawaddah warahmah (keluarga yang harmonis). Atas dasar ini, wajar kalau laki-laki diberikan amanah sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
Ketentuan Islam tersebut, merupakan konsep yang ideal, dan jalan mewujudkan keluarga yang harmonis. Namun demikian, dalam era globalisasi dewasa ini konsep tersebut dipandang sudah tidak relevan. Bahkan, keluarga muslim sendiri sudah mengikuti tradisi barat sekuler. Para isteri lebih memilih menjadi isteri karir. Anak-anaknya diserahkan kepada pembantu yang terkadang tidak memiliki pendidikan. Biasanya, para pembantu rumah tangga tamatan SMP. Ini, bukan berarti merendahkan martabat pembantu rumah tangga. Akan tetapi, mengingatkan para keluarga muslim, agar tidak memadakan pengasuhan dan pendidikan anak kepada pembantu. Pembantu rumah tangga, sangat diperlukan bagi keluarga yang mampu, tetapi pengasuhan dan pendidikan anak harus menjadi perhatian yang serius. Laki-laki, sebagai pemimpin rumah tangga dituntut untuk dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Isteri, sebagai pengemban amanah dalam rumah tangga kiranya dapat mengasuh putra-putrinya dengan penuh rasa kasih sayang. Berkarir di luar rumah, tidak ada larangan secara tegas. Akan tetapi menjadi ibu yang penuh dengan dedikasi dan keteladanan dari berbagai aspeknya, adalah suatu keniscayaan. Kepemimpinan dalam rumah tangga adalah hak laki-laki (suami). Akan tetapi dalam keadaan tertentu tugas kepemimpinan dalam rumah tangga boleh dikendalikan oleh isteri demi menghindari suatu kemuderatan. Wallahu a’lam bissawab.

 

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website